NTBNEWS - Di tengah menyeruaknya kasus mega korupsi akibat mekarnya gejala
materialisme yang ditandai dengan sikap mempanglimakan harta dan
jabatan, mari renungkan sejenak sabda Rasulullah, “Di antara yang aku
khawatirkan atasmu sepeninggalku kelak adalah terbukanya untukmu
keindahan dunia dan perhiasannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Bukan
berarti Rasulullah melarang usaha untuk mencari harta. Islam sendiri
memberikan peluang kepada umatnya untuk mencari kekayaan dunia. “Dan
carilah dari anugerah Allah kebahagiaan negeri akhirat, dan jangan
melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi, dan berbuat baiklah kamu
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan jangan kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan” (Qs Al-Qashash: 77).
Kecintaan terhadap harta bahkan
merupakan fitrah dari Allah (Qs Ali Imran: 14). Dan manusia mempunyai
kecenderungan besar untuk mencintai harta (Qs Al-Adiyat: 8). Karena,
sebagaimana ditegaskan Allah, harta memang perhiasan yang menyebabkan
hidup manusia senang (Qs Al-Kahfi: 46).
Islam hanya memberikan
warning agar manusia tidak menjadikan harta sebagai tujuan akhir (Qs
Fathir: 5). Tujuan hidup sebenarnya adalah kepuasan ruhani yang
mengantarkan pada kebahagian di akhirat. “Dan sungguh kehidupan akhirat
lebih baik bagimu dari kehidupan dunia” (Qs Ad-Dluha: 4).
Musthafa As-Siba’i dalam ‘Isytiraqiyatu Al-Islam’ menjelaskan beberapa rambu agama dalam mencari harta. Pertama, tidak menggunakan cara jahat dan kejam (bi ad-dhulmi). Tidak ada agama di dunia yang membenarkan upaya mencari harta dengan cara merampok, mencuri, atau menyerobot hak orang lain.
Mencari
harta dengan cara demikian juga ditolak oleh norma dan budaya
masyarakat manapun. Dan termasuk kategori ini adalah menimbun barang
atau kebutuhan pokok dengan tujuan menjualnya dengan harga mahal ketika
terjadi kelangkaan. Lainnya, membajak karya seseorang atau mengutak-atik
anggaran agar dapat mengeruk keuntungan sebesar mungkin.
Kedua, tidak menggunakan cara curang dan culas (bi al-ghasysyi).
Dipastikan, tidak ada orang yang senang ditipu. Penipu sekalipun akan
marah saat menjadi korban penipuan. Tetapi kesulitan hidup kerap membuat
orang buta mata dan tuli telinga. Tidak sedikit orang sekarang yang
begitu ‘kreatif’ dalam melancarkan penipuan.
Modusnya, mulai
undian berhadiah, menjual daging gelonggong, mewarnai telur cokelat
dengan cat putih, menjual bensin dicampur minyak tanah, membuat uang
tiruan, memalsukan ijazah, dan serupanya. Tren mutakhir, mengumbar
janji-janji manis demi sebuah jabatan politik, tetapi justru berkorupsi
ketika sudah duduk di kursi jabatan itu.
Ketiga, tidak menggunakan cara yang merugikan dan membahayakan (bi al-idlrar).
Berbisnis narkoba tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang
lain dan lingkungan. Demikian pula bisnis perjudian, pelacuran atau
jual-beli manusia (trafficking) sebagaimana marak belakangan.
Menjadi
makelar kasus, kurir suap, dan hakim ‘pesanan’ juga masuk dalam
kategori terakhir ini. Karena, mencari harta dengan cara demikian
menimbulkan kerugian dan bahaya yang sangat fatal bagi diri sendiri,
keluarga, bangsa, dan agama.
Berjuta cara bisa dilakukan untuk
mendapatkan harta halal ketimbang harus menghalalkan segala cara. Bumi
Allah terlalu luas asal manusia mau berdaya usaha. “Dialah yang
menjadikan bumi ini mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala penjurunya,
dan makanlah sebagian rezeki Allah. Dan hanya kepada Allah kamu akan
dikembalikan” (Qs Al-Mulk: 15).
Firman Allah di ayat lain, “Allah
yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal bisa berlayar
padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari karunia Allah.
Dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (Qs Al-Jatsiyah: 12).
Harus
dicatat, tidak ada kebaikan yang lahir dari harta haram. Ali bin Abi
Thalib menjelaskan beberapa dampak negatif dari harta yang diperoleh
secara haram.
Pertama, melemahkan gairah ibadah (al-wahanu fi al-ibadah). Mungkinkah ada pegiat ‘dunia hitam’ yang beribadah secara ikhlas dan benar?
Mungkin
sekali koruptor rajin melakukan shalat, bahkan pergi haji atau umrah ke
Tanah Suci. Tetapi, yakinlah, ibadahnya itu sebatas kulit, tidak
khusuk, sehingga tidak menembus jantung kemanusiaannya. Pelaku bisnis
haram justru selalu dililit kesibukan. Hidupnya habis hanya untuk urusan
kerja. Tidak ada waktu untuk beribadah, sehingga sangat rapuh saat
kegagalan menimpa.
Kedua, harta haram akan menimbulkan kesumpekan hidup (ad-dloiqu fi al-ma’isyah).
Dipastikan, pelaku kejahatan akan dilanda takut dan resah kalau-kalau
perbuatannya itu ketahuan. Boleh jadi koruptor yang tertangkap mengumbar
senyum dan melambai di depan kamera wartawan.
Tetapi perhatikan
raut mukanya dengan seksama. Semua itu hanya gaya, citra. Jauh dalam
lubuk hatinya ada galau dan was-was. Makan tidak terasa enak dan tidur
tidak pulas, takut korupsinya semakin terbongkar oleh KPK, sehingga
harta kekayaannya disita negara.
Ketiga, harta haram akan mengurangi kenikmatan (an-naqsu fi al-ladzdzat).
Tidak ada ceritanya kebahagiaan dibangun di atas harta haram. Alih-alih
menikmati harta, pemiliknya justru selalu gundah gulana dan merasa
bersalah.
Bukankah tidak sedikit dijumpai pelaku kejahatan
menyesal, bahkan menangisi kesalahannya? Pertama ditangkap
senyum-senyum. Tetapi setelah beberapa kali berurusan dengan pengadilan,
dia mendadak sakit. Baru tiga bulan menjadi tahanan, kondisinya merana.
Jauh dari keluarga dan fasilitas rumah membuatnya tidak doyan makan.
Hari-hari terpuruk, badannya menjadi kurus dan lemah.
Kaum
beriman jangan sampai menggadaikan agama demi harta. Senantiasa mari
langitkan setiap urusan dunia, agar kita termasuk yang dipuji Allah,
“Orang-orang yang bisnis dan perniagaannya tidak sampai melalaikannya
dari mengingat Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Mereka
takut kepada hari dimana hati dan penglihatan menjadi goncang” (Qs
An-Nur: 37).
Oleh M Husnaini
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
(http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/03/27/mkalsr-tiga-dampak-negatif-gunakan-harta-haram)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment